Ku inkubasi mimpi-mimpi ini. Arghhhh….!!! Aku pusing…otakku pusing, mungkin seperti gasing yang tak henti berputar. Mengejar mimpi menjadi perawat membuatku kepayahan. Bagaimana mungkin, hanya demi menjadi “suster”, aku rela membiarkan kulit ini lembab di tahanan suci ini?
BTP blok J, tempat yang baru empat hari aku tinggali. Rumah ini minimalis, asal kau tahu saja kawan, rumah-rumah tipe minimalis di kota adalah tidak lebih dari rumah kecil dengan luas pas-pasan. Keadaannya lembab lantaran jendela-jendela hanya dijadikan pemanis, tak pernah dibuka!
Rumah tahanan suci, aku menyebut rumah ini sebagai rumah tahan suci, lantaran aku, wanita muda yang oleh teman sebayaku sering memanggilku “Iffah”, hampir tidak pernah meninggalkannya, kecuali untuk masalah-masalah kampus atau masalah-masalah lain yang minta segera diselesaikan.
Sesekali menghela nafas panjang. Kuhirup lagi, lalu ku hembuskan. Mimpi ini memaksaku menggoda masalah yang terbang dan hinggap di dinding-dinding tembok. Pagi ini bahkan aku harus membiarkan dapur tanpa asap, membiarkan piring-piring porselen putih peninggalan tuan rumah tetap putih, tak ada bekas nasi. Alasannya sangat klasik; BERHEMAT!!!
Tapi setidaknya aku masih bisa bertahan, mimpi menjadi perawat ini adalah episentrum energy kedua setelah percaya kepada takdir Allah, yang membuatku mampu bertahan. Untukkukah mimpi ini???
Bukan!!! Mimpi ini bukan untukku, tapi mimpi ini milikku dan akan segera kukembalikan pada wanita tua di desa nun di seberang lautan sana. Mimpi ini untuk ibuku, yang rindu melihatku mengalungkan stethoscope di leher lalu ku dengar degup jantungnya.
Usai menyegarkan badan, aku bersiap-siap. Angkutan umum beroda empat itu ku kira akan berlalu, setelah beberapa menit berhenti tepat di depan penantian penumpang. Ternyata prediksiku melenceng jauh beberapa derajat. Bahkan Tuan Sopir merayuku dengan membunyikan klakson “pip-pip” mobilnya, menembus rintik-rintik hujan ini. Ujung jilbabku basah, tapi tak kupedulikan. Ku berjalan sambil sesekali melompat-lompat kecil menghindari lubang-lubang tanah yang menganga dan becek. Sekali lagi, Tuan Supir memencet tombol klaksonnya, tapi tak ku jawab, aku melambai-lambaikan tangan agar ia cepat berlalu, akan ku tunggu saja angkutan berikutnya. Alasan tidak mau menaiki mobil Tuan Supir ini sangat logis, biasanya mereka yang menunggumu dengan manis di depan pemberhentian dengan durasi yang cukup lama, akan melakukan hal yang serupa tatkala kau telah duduk manis di dalamnya, dan kau akan kebosanan menunggu penumpang-penumpang lain, menunggu hingga derai-derai tetesan keringat terjun di tebing-tebing alismu lantaran gerah berdesakan meski masih pagi.
Namun Tuan Sopir lebih kuat merayu ternyata, diklakson-nya lagi mobil tipe Carry itu. Kembali tak ku sahut sebab jarak antara aku dan mobil Tuan Sopir masih beberapa meter lagi, ia tetap ngotot. Beberapa menit menunggu perjalananku usai ternyata tak membuatnya menyerah. Baiklah,,,aku akan menumpangi mobilmu Tuan Sopir!
Mobil ini melaju, menerobos hujan dan tanah-tanah yang berebut tempat dengan aspal. Tiba-tiba mobil ini sekonyong-konyong berhenti. Ssssssrrrrttt…..(ah…aku tak pandai meniru suara-suara makhluk lain selain manusia). Tak kutanya sebab ku tahu, dia, Sang sopir ngotot ini menunggu muatan lagi (benar kan kataku?). Huftthhhh….aku bosan dengan Tuan Sopir ini, ia seperti superboy saja, pantang menyerah sebelum calon-calon penumpangnya mendekat ke arah mobil lalu dengan santai melempar senyum puas bila mobil betul-betul sesak. Beberapa menit berlalu. Ku lirik jam di ponselku, seperempat jam lagi tepat pukul 08.00. Aku mulai gusar.
Penumpang-penumpang terhormat yang di tunggu sejak tadi menaiki mobil. Lalu senyum berbisa itu tersungging dari wajahnya setelah memaksaku dan penumpang lain yang lebih dulu menumpangi mobil ini menunggu dan menghabiskan menit-menit penting kami.
Mobil ini kembali melaju. Tepat pukul 08.00 aku tiba. Aku sebenarnya baru menginjakkan kaki ke tanah lorong kampus. Aku masih membutuhkan beberapa menit untuk sampai ke sana. Aku mengomel dalam hatiku, takut telat dan tak diizinkan masuk oleh dosen lebih tepatnya. Mula-mula jalanku cepat. Tapi beberapa meter sebelum sampai di gerbang istana milik kaum intelek itu, aku memperlambat irama jalanku. Beberapa sosok yang kulihat di depan sana adalah teman-teman kelasku. Arah jalan mereka jelas menjauhi alias keluar dari kampus. Dan setelah mereka tersenyum simpul, sedikit garang, ditambah kebosanan juga ngantuk, atau senyum-senyum lain yang tak mampu kedefinisikan tersungging, hmm.. tahulah aku, bahwa perkuliahan di pagi hari yang cerah ceria menggemaskan ini, di batalkan!
Oh… layu kuyu kubalikkan badanku. Setelah berhujan-hujan dan adu urat kemarahan dengan sang Tuan Sopir hanya demi menghadiri perkuliahan yang ternyata dibatalkan karena dosennya sibuk.
Aku kembali memutar otakku. Mulai memasuki dunia utopia yang hanya aku yang tahu. Mulai bersolulokui dengan bayanganku yang berjalan menemaniku “betapa aku lelah mengejar mimpiku”.
Setelah beberapa menit, mungkin 30-an menit, hujan reda, lalu kembali rintik-rintik lagi. Hujan romantis ini mengingatkanku pada Tuan Sopir pagi tadi. Bisakah aku belajar darinya? Sebab aku masih ingin bertahan dengan mimpiku. Mimpi yang akan ku kembalikan pada wanita tua di seberang lautan sana. Ia melihatku dengan alat yang digunakan untuk mendengar denyut jantungnya, yang biasa dikalungkan di leher para dokter atau perawat saat memeriksa pasien...
Aku ingin bertahan selama masih ada jalan menuju mimpi-mimpi itu. Sebab aku ingin merdeka dengan mimpiku tanpa harus banyak mengeluh!
Makassar. 3 April 2011
Emy Gufarni
Profile:
*Notes:
tulisan ini pemenang 1 lomba cerpen BEM STIKES Nani Hasanuddin Makassar 2011
jangn banyak bermimpi nanti ndak bisa bangun he,,he
BalasHapusaku ingin merdeka dengan mimpiku tanpa harus banyak mengeluh..
BalasHapusmotivasi buat para mahasiswa(i), khususnya buatkuu.. izin copas kata2nya nah kak.. syukron :)
wah mantap ceritanya, hingga membangkitkan diriku yang sedikit lemah untuk menggaet mimpi. salam : muhammadsabili.blogspot.com
BalasHapus